Bennabi berpendapat punca-punca atau sebab-sebab yang mendasari kemunduran kaum Muslimin ada kaitan dengan keruntuhan akhlak masyarakat Muslim. Walaupun peradaban Muslim tengah mengalami kemunduran, Benabi percaya bahwa mereka tetap memiliki peluang untuk bangkit.
Justeru kejatuhan manusia pasca Al-Muwahhidun perlu dipelajari secara ilmiah dan dicari penyelesaiannya. Bennabi menolak untuk memfokuskan perhatian pada sebab-sebab eksternal. Inti permasalahannya harus dicari di dalam masyarakat yang mundur itu sendiri, dalam hal ini masyarakat Muslim itu sendiri.
Bennabi misalnya, memandang sia-sia tuntutan negeri-negeri Muslim yang dijajah untuk merdeka sekiranya persoalan internal mereka, yaitu keadaan biasa dijajah masih ada pada diri mereka. Maksudnya, pengaruh penjajahan masih menebal dalam minda, pemikiran dan tindakan.
Selain itu, untuk memicu terjadinya kemajuan dalam peradaban Islam, spiritualiti umat perlu dibangun terlebih dahulu dengan kemantapan iman, islam dan ikhsan.
Bennabi mengkritik para reformis pendahulunya, seperti Jamal al-Dīn al-Afghānī (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905), yang dianggapnya tidak mengarahkan gerakan reformasi mereka pada peradaban. Mereka terlalu asyik mencari kesalahan di luar diri mereka.
Kaum reformis, dalam upaya mereka mengeluarkan umat dari krisis, telah menghabiskan energi mereka untuk mengobati berbagai gejala dan bukannya menyembuhkan penyakit yang sebenarnya.
Kaum reformis sibuk membangun sekolah, menuntut kemerdekaan, melaksanakan pembangunan tanpa memahami apa yang sesungguhnya telah menyebabkan kemunduran kaum Muslimin. Hal ini pada gilirannya menyebabkan mereka gagal membangun kembali peradaban mereka yang tengah mengalami kemunduran.
Bennabi mengkritik mereka karena menghendaki kaum Muslimin untuk menjadi peniru atau pelanggan dari suatu peradaban yang membuka pasar-pasar mereka lebih banyak daripada sekolah.
Kaum modernis juga dianggap cenderung untuk mengikuti Barat dan tidak selektif dalam meminjam temuan-temuan Barat untuk memodenkan masyarakat mereka sendiri. Bagi Bennabi, orang-orang Eropa tidak datang ke Timur untuk menjadi pembaharu. Mereka tidak berniat untuk menyebarluaskan kebudayaan Eropa, melainkan untuk mengekspor barang-barang dari negeri mereka untuk menjadikan kaum terjajah terus menjadi budak mereka.
Karena itu, ia menolak westernisasi membangun kembali peradaban sama sekali tidak berarti kaum Muslimin perlu melakukan imitasi membuta serta mengorbankan identitas, warisan, serta sejarah mereka sendiri yang unik.
Bennabi tidak menolak bahwa meminjam aspek-aspek kebudayaan (cultural borrowing) dari peradaban lain bisa memberi manfaat bagi kaum Muslimin. Tetapi kaum Muslimin harus sangat selektif dalam melakukan hal itu dan tampaknya Bennabi sendiri tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang mendesak atau relevan untuk dilakukan oleh kaum Muslimin pada masanya.
Bila mengacu pada teori Bennabi, cultural borrowing tersebut biasanya tidak dilakukan pada tahap pertama (tahap spiritual) dari suatu peradaban, melainkan pada tahap kedua (tahap rasional) ketika peradaban telah berdiri kokoh dan mampu menyerap aspek-aspek kebudayaan lain dalam kerangka ide-ide otentik yang telah mereka miliki.
Seperti dikatakannya, kaum Muslimin mengalami kemunduran karena mereka tengah mengalami kebodohan atau miskin dengan dunia pemikiran. Kreasi berpikir tidak mengimbangi kemajuan sosial, produktivitas materi terhimpit oleh derasnya propaganda Barat yang mengakibatkan kaum Muslimin menjadi konsumtif belaka.