Intellectual Quotient(IQ)
Pada 1905 Binet menemukan IQ di Paris Perancis dan ia dikembangkan di universiti stanford, Amerika Syarikat. Ia pernah digunakan semasa perang dunia pertama, justeru itu, manusia memuja-muja dan memuji suatu bentuk kepintaran yang dianggap menjadi penentu kepada kejayaan manusia di dalam hidupnya. Ia adalah kepintaran tertinggi yang akan menjamin masa depan seseorang dan juga sesebuah masyarakat.
Kepintaran yang dimaksudkan tersebut ialah kepintaran intelektual (Intellectual Quotient, IQ). Ia dijadikan penandaras kepada kepintaran manusia. Justeru itu, berkembanglah pelbagai cara pengukuran IQ seseorang. Semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi tahap kepintarannya. Manusia yang mendapat IQnya 100 adalah manusia yang paling tinggi tahap kepintarannya.
Pada perkembangan seterusnya ternyata IQ tidak mampu mewujudkan “kejayaan” mutlak, IQ telah gagal membina hubungan antara manusia. IQ hanyalah merupakan kepandaian yang semata-mata digunakan untuk menangani masalah-masalah logik, rasional , metamatik dan strategik. Oleh itu, bila kita hanya berpegang kepada IQ semata-mata maka seseorang itu umpama robot atau mesin. "mesin” tidak mempunyai perasaan. Akhirnya “mesin” ini mengalami keterasingan dari lingkungan dan dunianya sendiri.
Emotional Quotient (EQ)
Kemudian, dengan berkembangan ilmu dan pengetahuan di bidang neurologi dan psikologi, terjadilah perbahasan baru dalam menilai kepandaian dan kejayaan seseorang. Pada tahun 1995 Daniel Goleman melalui bukunya bertajuk working with emotional qoutient membuat penemuan baru dalam bidang neurologi dan psikologi, kemudian membuat kesimpulan sesuatu yang dinamakan sebagai kepintaran jenis baru, yaitu kepintaran emosi (Emotional Quotient, EQ).
Berdasarkan pada teori EQ maka kejayaan seseorang tidak ditentukan oleh tinggi-rendahnya IQ seseorang, tetapi ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut mengendalikan hubungan antara manusia secara lebih bermakna. EQ telah memberikan suatu rasa simpati, empati, cinta, kasih, sayang, rindu, ketulusan, kejujuran, motivasi dan kemampuan bertindakbalas terhadap kegembiraan atau kesedihan secara tepat. EQ juga memberikan kesedaran mengenai perasaan diri sendiri dan juga perasaan orang lain.
Berbeda dengan IQ yang relatif tak berubah pada diri manusia, EQ boleh mengalami perubahan. EQ boleh meningkat dan menurun. EQ boleh dipelajari untuk terus ditingkatkan dan disempurnakan. Bahkan EQ menjadi landasan bagi penggunakan IQ secara lebih efektif. Pada hari ini banyak ditemui cara-cara untuk meningkatkan EQ itu, diantaranya buku The Seven Habbit Of Highly Of Effective People karya Stephen R Covey.
Spiritual Quotient (SQ)Ternyata dengan semakin baiknya kepintaran emosi seseorang telah membawa pada suatu kepuasan kebendaan, keintiman hubungan antara manusia, dan dapat bertindak secara tepat dalam mengelola kesedihan dan kegembiraan. Akan tetapi manusia moden telah dan sedang mengalami kehampaan makna hidup. Persoalan seperti kemanakah akhir hidup ini?. Untuk apa tujuan kita hidup?
Pernah suatu ketika Robin Leach membuat penyelidikan terhadap ratusan orang kaya dan terkenal, hasilnya memperlihatkan bahwa kekayaan dan kemasyhuran tidak serta merta membawa mereka pada kebahagiaan yang hakiki. Lantas yang menjadi pertanyaan faktor apakah yang menyebabkan seseorang bahagia? Sebahagian menjawab “wang”, “kekayaan”, “kenikmatan seksual”, “kedudukan”, kesihatan” dan lain-lain. Namun semua jawaban itu tidak menjawab kebahagiaan hakiki, jawaban yang parsial dan tidak menyentuh pada substansi dan hakiki kebahagiaan. Prof Khalil A. Khavari menjawab bahwa faktor yang membawa sesorang pada kebahagiaan hakiki adalah “spiritual”.
Faktor spiritual inilah yang kemudian pada akhir abad 20-an “dieksploitasi” oleh para neurologi dan psikologi untuk mendapatkan suatu formula kecerdasan jenis ketiga. Pada tahun 2000 V.S Ramachandran dari universiti california menemukan fungsi saraf otak yang dipanggil God Spot. SQ menjadi pemudah cara yang menghubungkan antara IQ dan EQ sebagaimana yang disebutkan oleh Zohar dan Marshall bahwa SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam konteks makna secara lebih luas dan jauh. SQ merupakan prasyarat bagi berfungsinya IQ dan SQ secara lebih efektif.
Intellectual, Emotional dan Spiritual Quotient(ESQ)Ary Ginanjar Agustian (2001) mengabungkan EQ dan SQ dengan nilai-nilai yang islam menjadi suatu integrasi yang kukuh dan bersepadu. Berdasarkan idea itu dengan pengalamannya pada dunia perniagaan – Ary Ginanjar Agustian, seorang pengusaha muda yang tergabung dalam HIPMI dan telah terlibat dunia pembangunan insan dan latihan keperibadian, pengembangan diri dan karier – dan atas bimbingan spiritual KH. Habib Adnan, beliau menemukan suatu model kecerdasan “alternatif” yang dipanggil The ESQ Way 165.
ESQ model ini kemudian dicurahkan dalam bentuk buku “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotent Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam”. Di dalam buku tersebut Ary Ginanjar Agustian mengabungkan secara tepat antara kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) berdasarkan kepada nilai-nilai Islam dan pengalamannya sebagai seorang usahawan. Meskipun EQ dan SQ mempunyai peranan yang berbeda namun sama-sama penting untuk dapat disinergikan antara satu dengan yang lain.
Secara ringkas, buku ESQ model terdiri dari 4 (empat) bagian.
Bagian Satu : zero mind process yaitu penjernihan emosi melalui proses menuju fitrah.
Bagian Dua : Mental Building
- Star principle
- Angel principle
- Leadership principle
- Learning principle
- Vision principle
- Well organized principle
Bagian Tiga : Personal Strength
- Mission statement
- Character Building
- Self Controling
Bagian Empat : Social Strength
- Strategic Collaboration
- Total Action
Pada bagian satu, zero mind process, kita diajak untuk melalui tahapan proses menuju pada fitrah manusia (God-Spot). Pada proses ini kita diminta untuk merenungi dan memperhatikan suara hati atas beberapa peristiwa yang terjadi sehari-hari baik pada diri kita maupun pada orang lain atau lingkungan sekitarnya. Kemudian kita disuruh untuk merespon secara jujur berdasarkan kata hati kita. Dari situ kita akan menemui dua pilihan, yaitu pilihan jalan menuju fitrah dan pilihan jalan menuju non fitrah. Kita diberi kebebasan untuk memilihnya. Dari sinilah prinsip hidup kita diuji. Terkadang hati manusia terbelenggu sehingga menutupi kebenaran informasi dari suara hati. Belenggu-belenggu tersebut adalah:
- Prasangka (buruk)
- Prinsip-prinsip hidup
- Pengalaman
- Kepentingan dan prioritas
- Sudut pandang
- Pembanding
- Literatur
Oleh karenanya kita diharuskan untuk membebaskan diri dari ketujuh belenggu tersebut untuk menuju god-spot.
Pada bagian dua, setelah kita memiliki kejernihan hati, maka kita harus mulai mengisi dan membangun melalui enam prinsip bintang sebagai pegangan hidup; memiliki prinsip malaikat sehingga kita selalu dipercaya orang lain; memiliki prinsip kepemimpinan yang akan membimbing kita menjadi seorang pemimpin yang berpengaruh; menyedari akan arti pentingnya prinsip pembelajaran yang akan mendorong pada suatu kemajuan; mempunyai prinsip masa depan, sehingga akan selalu memiliki visi, dan terakhir yaitu memiliki prinsip keteraturan sehingga tercipta suatu sistem dalam satu kesatuan tauhid, atau prinsip esa di dalam berfikir.
Ketangguhan peribadi adalah ketika seseorang berada pada posisi atau dalam keadaan telah memiliki pegangan prinsip hidup yang kukuh dan jelas. Secara sistematik, ketangguhan pribadi adalah seseorang yang telah memiliki prinsip berfikir dan mengaplikasikannya melalui tiga langkah sukses yaitu pernyataan misi, pembangunan karakter dan pengendalian diri. Inilah bagian tiga dari ESQ model.
Bagian Empat adalah ketangguhan Sosial. Ketangguhan sosial ini dianalogikan dengan prinsip zakat, yaitu kepedulian terhadap lingkungan sosial. Prinsip zakat adalah suatu bentuk “pertahanan aktif” dari dalam keluar. Langkah yang harus ditempuh adalah lanjutan dari langkah ketiga pada bagian tiga. Langkah keempat ini dinamakan sebagai kolaborasi strategik dan langkah kelima sebagai tindakan total. Pada langkah kelima ini diasosiasikan dengan haji. Yaitu tindakan unversal dan total dari rukun Islam.
Penutup
Demikianlah sekelumit tentang isi buku ESQ model. Pada prinsipnya buku tersebut merupakan bentuk dari pengembangan kepribadian untuk mencapai kejayaan baik di dunia dan di akhirat. Buku ESQ model menjadi penting untuk panduan menuju kehidupan dengan penuh makna vertikal dan horisontal. Keunggulan buku ini adalah karena dirilis oleh orang Indonesia sehingga khasanah budayanya sesuai dengan budaya Indonesia umumnya. Meskipun merupakan hasil kerja konvergensi yang diramu dengan pengalaman pribadi penulis, buku ersebut masih terkesan normatif, terutama pada bagian-bagian akhir. Buku tersebut juga bukan ditujukan sebagai buku “agama” ataupun buku ceramah/dakwah dalam artian konvensional.
Referensi
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Penerbit Agra. Jakarta
Sukidi, 2001. Bahagiakah Hidup Anda. Republika, 11 November 2001. Jakarta.
Sukidi, 2001. ESQ Pak Ary. Republika, 30 September 2001. Jakarta.
Sukidi, 2001. SQ. Republika, 15 April 2001. Jakarta.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2001. SQ memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai Kehidupan. Mizan. Bandung